Jumat, 18 Desember 2009

Cerpen_Ku


POHON RAMBUTAN

Sinar matahari mulai menelusup tirai jendela ka­mar Sania. Udara segar tercium juga dari sini, te­rasa rasa betul kesejukannya. Sania biasa bangun pagi, lalu menyibakkan tirai jendela untuk melihat pepo­honan yang ada tepat di depan jendela kamarnya itu. Ada banyak pohon di halaman rumah Sania. Ayah Sania, seorang pegawai Dinas Pertanian dan sangat menyukai pepohonan. Halaman rumahnya biasa menjadi tempat favorit keluarga untuk bersantai.

Pagi itu Sania seperti biasa membuka tirai lalu me­mandangi pohon rambutan kesayangannya. Pohon rambutan yang umurnya lebih tua darinya. Ia sangat menyukai buah rambutan, sehingga ia sangat senang sekali memi­liki pohon rambutan. Pada saat musim rambutan seperti ini, pohon rambutan miliknya berbuah sangat lebat.

Namun sayang, buahnya masih hijau belum matang. Sania tidak mau seorang pun memetik rambutan miliknya, sampai rambutan-rambutan itu matang betul.

"Aku sudah tidak sabar me­nunggu buah rambutanku ma­tang," kata Sania.

"Sabar dong sayang, semua kan harus ada prosesnya, buah juga, kita tunggu sama-sama, ya!" nasihat ayah.

Walaupun Sania sudah tidak sabar, tapi apa mau dikata me­mang buah rambutan yang ada di halaman rumahnya masih bebe­rapa minggu lagi bisa dinikmati.

Setiap saat melewati halaman rumah, yang dipandang hanyalah buah rambutan tersebut. Setiap bangun tidur, yang dilihat rambutan. Sania mau segera menikmati kesegaran buah rambutan, sudah tidak tahan lagi rasanya.

Suatu pagi, sehabis bangun pagi Sania seperti biasa melongok ke halaman rumahnya. Tapi, sungguh sayang, rambutan yang sudah mulai matang itu sebagian besar raib. Bukan main terkejutnya Sania. la terperanjat lalu bergegas keluar dari kamarnya sambil berteriak, "Ayah ... Ibuuuuu ....!"

Ayah dan ibunya kemudian menghampiri Sania. Mere­ka juga kaget karena tidak mengira semua buah rambutannya yang dinanti-nantikan anak kesayangannya hilang. "Wah, siapa yang berani mengambil atau mencuri?" kata ayah dalam hati.

"Sudahlah Sania jangan bersedih, nanti kita beli saja di pasar, ya!" kata ibu.

"Tapi, Bu. Sania kan sudah menunggu lama sekali," re­ngek Sania.

"Memang benar kata Sania, ayah dan ibu juga me­rasa kecewa, namun mau bagaimana lagi? Apa, ya perlu lapor polisi, ti­dak juga, kan? "

Sehari itu me­reka dan mang Ujang yang biasa membantu bersih­-bersih di rumah Sania juga bertanya-tanya tentang kejadian itu. Namun, mang Ujang tiba-ti­ba ingat, dulu sebelum buah itu matang ada seorang yang me­nanyakan rambutan itu. Ia bertanya mau dijual apa tidak? Tapi mang Ujang mengatakan tidak. Sebab ia tahu betul walaupun berbuah banyak, Sania sangat me­nyukainya. Bahkan banyak anak-anak kecil yang sering lewat di depan rumah Sania juga meminta rambutan terse­but. Namun seperti biasa Sania tidak memberikannya.

"Tetapi, apakah salah satu dari mereka adalah pen­curinya?" kata ayah.

"Ah, kita tidak boleh berprasangka buruk, yang su­dah tidak ada kita ikhlaskan saja," kata ibu.

"Tapi....!" Sania berkata dengan muka yang dongkol.

Saat malam hari, Sania terjaga dari tidurnya karena mimpi buruk. Ia kemudian bergegas membasuh muka agar segar kembali, namun sayup-sayup ia mendengar suara dari pohon rambutan yang ada di halaman rumah­nya. Sebenarnya Sania takut, namun rasa penasaran dan rasa dongkol membuatnya memberanikan diri membuka tirai jendela kamarnya. Sungguh tidak disangka, yang ia lihat yaitu segerombolan kalong atau sejenis kelelawar bertengger di pohon, tidak hanya pohon rambutan namun pohon buah lainnya yang ada di halaman. Mereka ber­kumpul seperti sedang menyantap makan malam. De­ngan lahapnya mereka memakan buah-buahan yang ada di sana.

Keesokan harinya Sania bercerita pada ayah dan ibu­nya. Kami sekeluarga baru menyadari bahwa kita tidak seharusnya mencurigai orang lain. Dengan kejadian ini Sania baru sadar, mungkin ini teguran dari Allah. Bahwa kita tidak boleh serakah. Hani juga berjanji, nanti jika buah-buahan di halaman rumahnya sudah mulai matang, ia akan segera membagikan pada tetangga dan teman­temannya.

Pesan moral yang ingin saya sampaikan di sini adalah

* Jangan mempunyai sifat serakah,

* Berbagilah dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan,

* Yang berbuat buruk pasti akan tertimpa azab dari Tuhan,

* Jika mempunyai sifat serakah maka akan mendapatkan hal yang lebih buruk yang tak pernah terbayangkan,

* Jangan pernah berprasangka buruk kepada orang lain.

Nah, dari kedua cerpen Buaya yang Serakah dan Pohon Rambutan kita dapat mengambil suatu hikmah dan semoga bermanfaat bagi para pembaca. Jadilah orang yang budiman, dermawan, dan saling menghargai sesama makhluk hidup di dunia ini karena semua adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Besar. Salam hangat dariku...

Icha


ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH


Dalam sebuah gubuk tua, tinggal seorang Ibu yang kulitnya mulai keriput, tengah memarut kelapa. Gubuk itu tidak begitu luas, hanya terdapat satu ruangan untuk berbagai macam kegiatan. Seorang anak SD datang dengan tampang pucat, seragamnya lusuh, ada sedikit tambahan dengan kain sewarna di bagian pundaknya.

" Assalamualaikum.”

Karti masuk ke gubuk dengan meletakkan tas di kursi kayu reot.

Mamak berhenti memarut kemudian memandang anaknya.

" Eeeee sudah pulang ta Nduk. Tadi di sekolah diajari apa Nduk?" tanya mamak.

Karti bercerita bahwa dia belajar Matematika, Bahasa, IPA,dan IPS. Karti duduk di tempat tidur sambil memijit kakinya sendiri.

" Hah? IPAS? IPES?" sahut mamak sambil berhenti memarut.

" Wah Mamak kok ndeso ta? Bukan ipas ipes, tapi IPA dan IPS." Karti menjelaskannya pada mamaknya.

" Ealah Nduk-Nduk, Mamakmu ini belum pernah merasakan yang namanya sekolah, ya wajar kalau nggak tahu ipas ipes."

Karti bercerita dengan mamaknya jikalau tadi Karti di panggil Bu Prapti karena bayaran sekolah harus segera dilunasi. Batas pembayarannya paling lambat seminggu lagi.

Mamak mengerutkan dahinya kemudian berkata : "Berapa ta Nduk?"

" Seratus ribu Mak." sahut Karti.

" Lah kok banyak banget?" Mamak menjadi keheranan.

Karti menerangkan pada mamaknya bahwa sudah empat bulan belum membayar uang sekolah.

" Terus bagaimana Nduk? Hasilku jualan Lotek saja tidak sampai sebanyak itu." Mamak mengelus-elus alis di atas matanya.

Kemudian Karti beranjak dari tempat tidurnya. Karti mengambil pakaian di dalam kardus di kolong tempat tidur. Karti ganti baju dan ingin pergi mengamen. Mamak menawari Karti untuk makan terlebih dahulu karena mamak sudah masak sambel terasi kesukaan Karti.

" Masih kenyang Mak," jawab Karti sambil menuju kamar mandi untuk mengganti baju.

Mamak menggerutu tentang keadaan hidup yang dialaminya. Semuanya mahal dan lagi untuk membayar sekolah mahal. Padahal Karti sudah sekolah negeri bukan sekolah swasta.

Karti datang dengan baju lusuh dan topi bututnya. Karti berpamitan dengan mamaknya. Tidak lupa seperti biasanya Karti mencium tangan ibunya.

Mamak mendoakan anaknya semoga tidak akan terjadi apa-apa.

Beberapa waktu kemudian di depan gubuk tua mamaknya Karti. Mamak sedang melayani pembeli lotek hari itu loteknya cukup laris. Ada lima orang, bapak-bapak dan tiga orang ibu-ibu menunggu pesanan dengan sabar. Karti datang dengan tergopoh-gopoh. Di belakangnya tampak Sukardi, preman, mengejarnya.

" Mak...!” teriak Karti dengan ketakutan. Karti bersembunyi di balik badan mamaknya.

" Sini duitnya, lo belum bayar pajak sama gue," Kata Sukardi sambil membentak-bentak.

" Pajek apa? Emange kamu petugas pajek po?" sahut Mamak.

" Anak lo ngamen di daerah gue. Jadi anak lo harus bayar pajak," Bentak Sukardi.

Warga masyarakat yang sedang membeli lotek tidak senang dengan tingkah Sukardi, Pak Bowo salah satu di antara mereka, maju membela Karti dan Mamaknya.

"Heh, kamu nggak punya hak minta pajak di sini."ujar Pak bowo.

"Ooooo, berani lo sama gue? Belom tahu siapa gue?"

"Saya tau siapa kamu, kamu Sukardi anaknya pedagang pisang yang suka buat masalah, kalau kamu macam-macam sama Karti dan mamaknya, warga sini tidak segan-segan mengusirmu."

Pak bowo mengancam sukardi sambil mengacungkan jari telunjuknya ke wajah sukardi. Warga kampung yang sedari tadi menonton pun ikut maju, mengeroyok Sukardi. Sukardi pun tak luput dari amukari masa. Beruntung tak lama kemudian, Pak Seno, ketua RT setempat datang.

" Ada apa ini kok ribut-ribut?" Tanya Pak Seno."Ini Pak, Sukardi bikin masalah lagi." Jawab Paiman.

" Ya sudah, sekarang bapak-bapak dan ibu-ibu bubar, Sukardi biar jadi urusan saya, ayo bubar!"

Pak Seno menarik tangan sukardi yang sedari tadi tergeletak tak berdaya. Warga segera bubar. Mamak mendekati Pak Seno lalu mengucapkan terima kasih banyak pada Pak Seno.

" Sudah tugas saya sebagai RT, Bu saya pamit dulu ya."

" Ia silakan."

Karti menghela napas dan sangat bahagia dan berkata," Untung ya Mak duitnya nggak jadi diambil Sukardi."

Mamak menjawabnya, "Iyo Nduk, besok lagi ati-ati yo.

" Ia Mak."

"Ya sudah sana istirahat dulu, Mamak jualan dulu ya."

Karti menganggukkan kepalanya. Lalu Karti masuk ke dalam gubuk rumahnya.

Malam sudah tiba.matahari yang bersinar beri cahaya telah menghilang. Karti belajar di dalam gubuknya diterangi lampu 5 watt. Besok Karti harus melunasi bayaran sekolahnya sedangkan Mamak sedang sibuk menjahit rok yang sobek.

Karti tiba-tiba beranjak dari meja belajarnyadan berkata, " Oh ia

Mak, besok ini aku harus melunasi bayaran sekolah."

Mamak menghentikan pekerjaan sebentar dengan memandang karti. Lalu meneruskan pekerjaannya lagi.

" La terus gimana Nduk? Mamak nggak ada uang je. "

" Semoga saja cukup ya Mak. "

Karti menutup bukuyang tadi ia baca. Karti mengeluarkan celengan dari kolong mejanya. Terdengar suara pyar…

Karti memeccah celengannya. Mulai menghitung uang tabungan Karti.

" Sepuluh, empat puluh, delapan tiga lima ratus, delapan lima, wah Mak kurang empat belas ribu sembilan ratus je."

" Nih Mamak punya sebelas setengah, ini aja untuk modal jualan lotek besok, ya udah ini pakai saja dulu, besok Mamak utang Bu Ratmi dulu." Mamak menghentikan pekerjaannya lalu mengeluarkan uang dari saku. Mamak memberikan uang pada karti.

Karti menerima uang itu kemudian memasukkan uang-uang itu ke dalam plastik putih di atas meja.

" Terima kasih mamak, karti seneng sekali, " mendekati mamak lalu memeluknya.

" Mamak ya ikut seneng, Mamak pengen besok Karti jadi orang sukses, jangan seperti Mamak, miskin."

" Ia Mak, aku besok pengen jadi dokter."

" Besok kalau jadi dokter kamu mau ngapa Nduk?"

" Aku pengen belikan Mamak mobil yang bagus, kayak yang di jalan­-jalan itu."

" Wah kalau Marnak naik mobil bagus, Karti jangan panggil aku Mamak lagi."

" Lah kalau nggak Mamak, terus apa?"

" Mami, biar keren seperti orang-orang kaya itu."

Tiba-tiba, brak...! Ada seseorang membuka pintu gubuk mereka dengan kasar. Orang itu tak lain adalah bapaknya Karti yang datang dalam keadaan mabuk.

" He, aku minta duit," ujar Bapak Karti.

" Aku nggak punya duit Pak," jawab mamak.

" Karti, sini uang yang kamu pegang itu," Bapak Karti memaksanya untuk menyerahkan uang tersebut. Karti menyembunyikan uang itu di balik badannya.

" Jangan Pak, ini buat bayar sekolah"

" Walah pakai sekolah segala, kayak orang kaya saja, kalau sudah bodoh ya tetap bodoh."

Bapak Karti segera menampar karti dan merebut uang karti dengan paksa. Mamak menangis kemudian memeluk kaki suaminya. Mamak sudah berusaha mencegahnya pergi membawa uang karti. Namun, bapak memandang mamak dengan tatapan jijik. Bapak Karti tidak menghiraukan mamak. Karti masih berusaha merebut uangnya dengan memegang tangan bapaknya.

" Aja Mas, kasihan Karti, itu untuk bayar sekolah." Kembalikan Pak, besok harus Karti bayar ke sekolah."

" Alah, cerewet." Bapak menepis tangan Karti hingga jatuh ke lantai. Lalu menendang mamak hingga jatuh juga. Karti marah dan menjerit pada bapaknya yang benar-benar kelewatan.

" Bapak kejam, Bapak seperti setan." Karti dan mamaknya menangis tersedu. Bapak tidak perduli. Bapak tetap pergi meninggalkan anak dan istrinya.

" Terus besok gimana Mak leh ku bayar sekolah?" rintih Karti.

" Gimana ya Nduk, Mamak ya bingung."

Keesokan harinya, di sekolah Karti dipanggil Bu Prapti, kepala sekolah SD Sukma Bangsa. Karti menundukkan kepala ketika memasuki ruang kepala sekolah.

" Bagaimana? Apa kamu sudah bisa melunasi administrasi sekolah?" tanya Bu Prapti.

" Maaf Bu, uangnya belum ada."

" Kalau begitu, ini untukmu," Bu Prapti mengulurkan sepucuk surat pada Karti. Karti menerimanya lalu membaca surat tersebut.

" Sas... sa.... saya di keluarkan bu?"

" Maaf Karti, tapi itu keputusan sekolah."

" Lalu bagaimana dengan beasiswa yang saya ajukan?"

" Setelah dipertimbangkan, kami memberikan beasiswa tersebut pada Nora," Bu Prapti memberikan penjelasan pada Karti. Karti menangis dan sangat sedih ketika mendengar kabar tersebut. "Tapi, keluarga Nora itu mampu membayar sekolah," tegur Karti.

" Dia lebih berprestasi dari pada kamu, tentu saja kami lebih membutuhkan murid yang berprestasi."

" Tolong Bu, beri saya kesempatan," Karti memohon.

" Maaf Karti, itu keputusan terakhir."

" Kalau begitu, saya pamit dulu Bu," Karti tertunduk lesu, pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Perjalanan ke rumah Karti, ia hanya diam dan terus berjalan. Biasanya Karti pulang sekolah dengan wajah gembira tapi saat ini hanya raut muka kesedihan yang menyelimuti hatinya. Sampainya di rumah, Karti langsung memeluk Mamak, yang tengah mengiris sayuran.

" Ada apa Nduk? Kok pulang-pulang malah mewek?" Mamak heran dengan sikap Karti yang tidak seperti biasanya.

" Aku nggak jadi belikan Mamak mobil," Jawab Karti dengan nada sangat sedih.

" Ealah. Cuma begitu saja kok pakai acara menangis segala. Nduk, mamak tidak apa-apa tidak jadi kamu belikan mobil tapi yang penting mamak ingin melihat kamu senang saja sudah cukup."

" Masalahnya aku nggak bisa jadi orang pintar, Aku dikeluarkan dari sekolah, Mak."

Mamak turut menangis sambil memeluk Karti. Mamak bertanya pada Karti," Lha, apa kamu nggak dapet beasiswa?"

" Nggak Mak, yang dapet beasiswa Nora, itu anaknya Pak RT."

" Kok orang kaya malah dapat beasiswa ya Nduk?"

" Nggak tahu Mak, mungkin orang miskin seperti kita ini dilarang sekolah."

" Duh Gusti, kok jadi begini? Apa orang miskin memang tidak boleh pintar? Kalau begini caranya, kapan kita bisa merasakan jadi orang kaya? Mamak menangis sambil terisak-isak sambil memeluk anaknya.

"Sabar yo Nduk, besok kalau ada rezeki kamu sekolah lagi."

Mereka menangis bukan meratapi nasib, melainkan meratapi kebodohan yang akan turun-temurun di keluarga mereka kalau orang miskin terus-menerus dilarang sekolah.



SEBUAH RAHASIA CINTA



Nino tidak suka Randy dekat-dekat Marissa. Padahal Nino sendirilah yang menyuruh Randy untuk menjadi mak comblangnya dengan Marissa. Memang sejak itu Randy dekat dengan Marissa. Nino takut cintanya akan direbut oleh Randy.

Terdengar suara dering handphone Randy dari atas meja kamarnya. Randy yang semula bermain game di ruang keluarga segera bergegas menuju kamar dan meraih handphonenya. Sambil duduk di tepi tempat tidurnya yang kelihatan acak-acakan itu ia mengangkat telepon itu.

" Ada apa, Nino?" Tanya Randy.

" Aku pengin ngobrolin sesuatu ma kamu Ran!" jawab Nino.

Randy sambil tertawa cekikikan. Ia heran dengan sikap teman akrabnya tersebut. Tidak ada hujan tapi bisa-bisanya ada air di tanah.

" Serius amat, mau ngutang lagi ya!" Canda Randy.

" Enak aja! Masalah Marissa nih!"

" Okey Boss! Aku segera ke sana. Sediain makanan kecil plus soft drink ya!"

" Makan terus yang dipikirin, badan tetep krempeng nggak tambah gede!"

" Cacingan kali...! Eh, jadi nggak nih!"

" Jadi dong, sekalian mampir beli pizza ya! Aku juga lapar nih. Ntar duitnya aku ganti."

" Setuju banget. Ya dah. See you!"

" Yoi. Jangan lama-lama....!"

Breg! Belum sempat Nino melanjutkan kata-katanya, telepon sudah ditutup. Randy memang sahabat karib Nino. Dimana ada Nino pasti ada Randy. Begitu pula sebaliknya. Sikap Randy pada Nino pun sudah seperti saudara sendiri. Dan Randy lah yang paling sering membantu Nino saat Nino dalam masalah. Di kamar Nino yang lumayan luas, meski keliatan sempit karena penataan ruang yang kurang tepat. Ada sebuah lemari besar dekat pintu masuk. Sebuah tempat tidur yang dua belah sisinya menempel tembok. Meja dengan buku berantakan di atasnya, terlihat acak-acakan. Di satu sudut ada sebuah televisi, di sampingnya ada home teathre dan play station yang sedang dimainkan Nino saat Randy datang membawa sekotak pizza.

" Alloohaa...! Pizza sudah datang!" teriak Randy.

" Lama banget, nyasar ya?" sahut Nino.

" Eeh... sekate-kate kamu Nin ! yang namanya Randy, udah hafal semua jalan yang ada di Jogja. Jangankan rumah Nino, Malioboro pun Randy tau jalannya!"

" Itu sih orang se-Jogja juga tau! Mana pizzanya, minumannya ambil sendiri di kulkas sana, sekalian aku juga diambilin!"

" Idih, manja! Tamu nih, harusnya dilayani bukannya melayani!"

" Biasanya juga ambil minum sendiri. Sana!"

Randy dengan sewot dan segera mengambil minum dan kembali ke kamar Nino.

Nino sambil bermain game mengucapkan terimakasih pada Randy karena sudah mau mengambilkan minuman untuknya.

" Ada apa dengan Marissa, Nino?" Tanya Randy. Randy duduk di samping Nino sambil makan pizza. Nino menghentikan mainnya dan mulai ngomong serius.

" Aku nggak suka kamu deket-deket Marissa."

" Bukannya kamu sendiri yang nyuruh aku nyomblangin kamu sama dia. Otomatis aku juga harus ndeketin dia, kan! Kok kamunya malah jadi marah."

" Ia, ia!"

" Kenapa nggak kamu sendiri aja yang pendekatan? Kenapa kamu kemaren nyuruh aku? Cemburu nih critanya?"

Nino mengaku bahwa semakin lama ia menjadi cemburu. Sekian lama Randy nyomblangin Nino sampai sekarang tidak jadi-jadi pacar Marissa. Malahan terlihat sangat jelas Randy semakin dekat dengan Marissa.

" Harusnya kamu tu jadi pejantan tangguh! Mau ketemu aja masih minta tolong aku, " Randy menggerutu di depan Nino.

" Jadi kamu nggak ikhlas selama ini nolong aku?"

" Bukannya gitu Nin. Kalo kamu sendiri yang ndeketin dia, kan lebih seru."

" Bener juga kamu ! Maaf aku udah berprasangka jelek."

" Gitu dong, itu baru Nino yang aku kenal."

Nino memikirkan kata-kata Randy tadi.Mulai sekarang Nino akan berusaha menggapai cintanya dengan usaha sendiri.

" Tapi gimana caranya ya?"

" Yah...payah!" Randy memukul keningnya sendiri. Nino akan mencoba langsung menembak Marissa saja karena sebenarnya Marissa juga sudah tahu jikalau Nino menyukainya. Nino menelepon Marissa dan mengajaknya bertemu di Kafe.

Malam Minggu yang indah. Saat Nino janjian dengan Marissa di sebuah Kafe di tengah kota Jogja. Saat itu waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Meskipun suasana terasa romantis tapi Nino yang berada di meja nomor 7 kelihatan gelilsah. Berkali-kali ia melihat ke sekeliling. Banyak pasangan muda sedang asyik ngobrol. Tangannya diketuk-ketukkan ke meja. Sambil menunggu pesanan, Nino dan Marissa mengobrol. Terdengar alunan lagu romantis mengiringi gerak bibir mereka. Tak lama kemudian pesanan pun datang. Mereka menikmatinya.

" Ayu, Marissa Ayu tau kalau Nino sayang Marissa?" Kata Nino sambil gemetaran saat mengutarakan cinta.

" Hhh...!" Sahut Marissa.

" Marissa, maukah menjadi pacar Nino?"

Dengan tenang Marissa menjawab, " Randy bukankah cinta itu tidak harus memiliki? Aku suka kamu sebagai sahabat, Nino. Jadi maaf. Aku tidak bisa!"

" Kenapa Sa…?"

"Aku tau kamu sahabat Randy. Tapi semenjak ia nyomblangin aku sama kamu aku jadi sayang sama Randy,Nino! Maaf."

Itulah yang ditakutkan Nino selama ini. Dan malang nasib Nino, ketakutannya menjadi sebuah kenyataan. Marah, kecewa, sedih, begitulah hati Nino. Sementara itu Randy menunggu kedatangan Nino di kamar Nino. Randy cemas saat Nino membawa raut muka kusut. Randy langsung menyambutnya.

" Kenapa kamu,No?"

" Brengsek kamu, Randy!" Nino sambil membanting tubuh Randy ke tempat tidur. Randy bingung melihat dan mendengar lontaran kata-kata yang kurang menyenangkan di telinga Randy

. " Ada apa ini? Apa salah aku, No?"

" Marissa nolak aku, Ran. Dan apa alasannya? Dia bilang kalau dia lebih suka sama kamu!"

" Apa?" Randy menjadi sangat heran mendengar ucapan sahabat karibnya tersebut. " Puas kamu Ran! " sahut Nino.

" Tenang, tenang Nin. Aku pun tak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini."

" Aku benci kamu, Randy!"

" Aku akan bicara dengan Marissa. Aku nggak mau persahabatan kita rusak karena masalah seperti ini, okey!"

" Halah ... bullshit! Toh Marissa nggak akan mau sama aku setelah kamu bicara sama dia."

" Oke! Aku coba bicara sama Marissa sekarang."

Randy langsung pergi. Menjemput Marissa dan mengajak ke Kafe di mana Marissa dan Nino tadi bertemu tepat di meja nomor 7 mereka duduk. Suasana di sana tampak agak sepi karena sudah malam..

" Kenapa kamu lakukan ini semua, Sa?" Tanya Randy dengan kecewa.

" Maaf!" jawab Marissa lirih.

" Sa, kamu tau. Aku sahabatan dengan Nino sudah lama. Aku sayang Nino,Sa."

" Tapi Ran!"

" Ia suka kamu karena dia pria normal. Bukan seperti aku! Aku benar­-benar tertarik sama ia dan tidak dengan gadis manapun," Ujar Randy.

" Izinkan aku menjadi obat bagimu! Mungkinkah akan hilang perasaan itu terhadap Nino?" Bujuk Marissa. Tangan Marissa memegang tangan Randy. Namun beberapa saat kemudian Randy mencoba melepaskan tangan Marissa yang ada di atas tangannya.

" Maaf. Aku tidak ingin merusak persahabatanku dengan Nino. Dan aku juga tidak ingin Nino mengetahui perasaanku kepadanya!"

Marissa sangat kecewa atas jawaban Randy. Marissa terdiam terpaku saat itu juga.

" Itulah sebabnya, aku mau jadi mak comblang kalian berdua. Agar berkesan seolah tak ada apa-apa denganku!"

" Randy, aku turut bersedih."

" Yah, meskipun hatiku juga sakit karena dia perhatian sama kamu, Sa!" "Lalu, sekarang apa yang harus aku lakukan Ran? Aku tau Nino pasti kecewa. Dia pasti membencimu dan itu semua karena aku!"

" Aku minta tolong,Sa! Kamu bicara samaNino. Dan beri alasan yang lain kepadanya. Dan ingat, jangan bilang tentang perasaanku."

Marissa menganggukkan kepalanya dan akan memenuhi permintaan Randydan sambil berkata," Baik. Aku akan berusaha. Aku juga tak ingin merusak persahabatan kalian! Sekali lagi maafkan aku ya,Ran!"

" Yah! Semoga saja Nino bisa memaafkanku. Aku bahagia Sa, bisa dekat dengannya. Apalagi jika saat ini dia bisa memaafkanku dan kita bisa temenan seperti biasanya."

" Maaf, apa aku boleh menanyakan sesuatu?" Tanya Marissa.

" Mmm ... Boleh ... Apa?"

"Sampai kapan kamu akan seperti ini Ran?"

Randy juga bingung dengan keadaan dirinya yang seperti itu. Randy menjawabnya," Entahlah ! Semoga saja perasaanku ini bisa berubah. Aku juga ingin seperti pria-pria lain yang mengagumi perempuan, karena aku sangat tersiksa dengan keadaanku sekarang ini!"

Akhirnya Marissa mendatangi kediaman Nino dan menerima ajakan untuk berpacaran. Nino sangat bahagia dan ia langsung menemui Randy dan berterimakasih padanya. Berkat Randy juga ia dapat jadian dengan Marissa. Marissa belajar untuk mencintai Nino. Cinta itu tumbuh karena terbiasa sehingga pepatah jawa itu benar bahwa Witing “Tresna Jalaran Saka Kulina”. Beberapa tahun kemudian Randy mencoba menjalin hubungan dengan wanita. Tak ia sangka ternyata sifatnya yang dulu terhadap Nino dapat beralih kepada wanita tersebut. Selamanya mereka tetap bersahabat. Sampai akhir hayat mereka saat ajal menjemput, selamanya rahasia cinta Randy terhadap Nino terkubur bersama waktu.

Di baca ya?

Nah, bagi para pembaca tentunya kalian dapat mengambil hikmah dari cerpen yang sudah saya buat ini. Semoga dapat bermanfaat dan pesanku untuk kalian adalah jangan pernah sekali-kali di dalam hidup untuk tidak menghargai teman yang kalian punyai sekarang karena apabila tidak, kalian dapat menyesal hingga akhir hayat. Silakan bagi para pembaca dapat meninggalkan saran dan kritik kepada saya dan saya akan menerimanya dengan senang hati. Terima kasih. Da … daaa… Sampai berjumpa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar